NIKOH AUR KA PLASUI (Memanjat Bambu Posisi Terbalik)


Permainan Tradisional di Kalimantan Barat, seperti diketahui saat ini cukup banyak. Bahkan ada yang sudah tergerus dari kemajuan teknologi, sehingga jarang dijumpai dan dimainkan oleh kaula muda. 

Salah satu permainan tradisional yang jarang juga dijumpai di provinsi ini yakni memanjat bambu terbalik atau dengan Bahasa Dayak Bidayuh, Desa Hli Buei, Sebujit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, dinamakan “Nikoh Aur Ka Plasui”.

Permainan ini memang jarang dipertunjukkan, karena tidak gampang untuk melakoninya. Namun belakangan ini sudah mulai dikenal khususnya di Kalimantan Barat, serta telah dipertunjukkan pada momen-momen tertentu.


Menurut salah satu tokoh masyarakat Desa Hli Buei, Dusun Sebujit, Deki Suprapto menjelaskan, sejarah dari permainan ini juga sangat sakral, karena pada dasarnya memanjat bambu terbalik ini adalah dari proses pengobatan orang sakit melalui orang yang memiliki kemampuan khusus yang biasa disebut dukun. Sehingga dengan keberhasilan seorang dukun mengobati pasiennya pada masa dahulu, diungkapkan dengan rasa syukur dengan menggelar panjat bambu dengan posisi terbalik.

Demikian juga benda-benda yang ditaruh diatas ujung bambu yang sudah didirikan teguh, berupa makanan-makanan khas suku dayak Bidayuh. Selain itu, posisi sang pemanjat bambu dengan posisi kepala mengahadap ke bawah mengandung arti secara logika, dapat melihat musuh atau binatang buas yang dapat mengancam keselamatan warga.

"Memanjat bambu terbalik ini sebenarnya diluar dari perayaan Gawai Nibak'ng. Tapi karena untuk mengingat tradisi leluhur kami gelar permainan atau atraksi ini, seiring punahnya tradisi perdukunan saat ini", ucapnya menjelaskan saat Gawai dirayakan di Sebujit (15 Juni 2023).


Bahan yang dibutuhkan pada permainan ini yakni satu batang bambu khusus yang cukup licin dan kuat. Kemudian pada salah satu ujungnya dianyam berupa sarang ayam untuk mengeram telur yang difungsikan sebagai tempat hadiah. Tidak jauh dari tempat hadiah tersebut dilintangkan satu buah kayu bulat menembus kedua dinding kulit bambu, sebagai tempat berdiri pemanjatnya ketika sudah dapat mencapainya.

Salah satu ujung bambu kemudian ditanam kedalam tanah dengan kedalaman tertentu, sehingga bambu tersebut dapat berdiri tegak dan dipastikan tidak akan tumbang jika dipanjat oleh peserta permainan.

Tinggi bambu yang disediakan juga tidak mutlak, namun tetap diperhitungkan secara logika dari kekuatan standar manusia dalam memanjatnya.


Diakui bahwa, permainan memanjat bambu terbalik ini oleh leluhur dari suku dayak Bidayuh daerah ini. Dan hingga saat ini, diyakini bahwa permainan atau dapat disebut dengan olahraga tradisional ini, hanya ada pada suku dayak Bidayuh desa Hli Buei. Hal itu disebabkan karena ritual pengobatan setiap daerah pada masa dahulu berbeda pada tiap tempat.

"Saya melihatnya hanya ada di Sebujit, karena prosesi perdukunan setiap daerah berbeda-beda. Jadi pada sub suku Dayak Bidayuh secara umum saya belum menemukannya. Hanya di Sebujit atraksi ini dilakukan, dan kami telah menjadikannya olahraga tradisional", tambah Deki.

Seiring hilangnya dunia perdukunan dan hadirnya pemerintah dalam pelayanan Kesehatan, panjat bambu terbalik ini, hanya digelar saat perayaan dan pesta tertentu. Karena masih diyakini bahwa, permainan ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan harus melalui persiapan khusus.


Pola permainannya saat ini juga telah dimodifikasi dengan tujuan memeriahkan pada pertunjukan atraksi ekstrim yang dipertontonkan. Seperti benda-benda yang ada pada ujung bambu tersebut, saat ini disediakan makanan dan minuman modern.

"Kalau dulu benda-benda yang disiapkan diatas berupa paha anjing, paha babi dan makanan khas daerah ini. Barang ini semacam hadiah begitu, karena sudah sembuh dari penyakitnya. Kalau sekarang tergantung sponsor, bisa saja kalau ada biaya disediakan handphone, jam tangan dan lain sebagainya. Sifatnya hany hadiah", ujar Kepala Desa Hli Buei ini.

Digelarnya permainan khas yang cukup ekstrim ini tidak hanya untuk kalangan dewasa, namun didominasi oleh kaum pria. Karena jika dilihat dari teknis dan pola memanjatnya, memerlukan kekuatan dan keahlian untuk sampai pada puncaknya.

Saat ini, masyarakat sebujit juga telah memodifikasi permainan ini menjadi lebih ekstrim. Yakni menegakkan satu batang bambu yang telah diberikan tali sebagai kendali, sedangkan bagian pangkal bambu hanya dipegang oleh dua orang.

Hal ini dilakukan untuk menambah respon penasaran penonton saat berkunjung pada perayaan Gawai Nibak’ng daerah Sebujit.


Dari pertunjukan permainan Nikoh Aur Ka Plasui atau memanjat bambu terbalik ini tergambar bahwa, budaya leluhur tetap terjaga pada komunitasnya, sehingga perlu dikembangkan untuk kelestariannya. (admin)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak