Terjaganya Tradisi Leluhur: Gawai Nibak'ng Desa Hli Buei, Kabupaten Bengkayang

(Rumah adat Baluk Desa Hli Buei)

Perayaan Gawai Dayak secara umum dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang dihasilkan. Dalam perayaan ucapan syukur ini, suku Dayak sekaligus berdoa agar hasil panen selanjutnya juga melimpah dan terhindar dari hal yang tidak baik.

Sama halnya dengan Gawai Nibak’ng yang dirayakan oleh sub suku Dayak Bidayuh wilayah perbatasan Indonesia Malaysia, Desa Hli Buei, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang.

(Suasana pagi hari di sekitar rumah adat Baluk)

Dalam menyambut Gawai, masyarakatnya melakukan berbagai persiapan, mulai dari dekorasi kampung dan rumah adat, serta menyiapkan makanan khas Gawai daerah ini.

Selain itu, persiapan menyambut tamu adat juga dipersiapkan secara khusus. Karena pada perayaan Gawai Nibak’ng Dayak Bidayuh di Dusun Sebujit, selalu kedatangan tamu atau keluarga yang berasal dari negara Malaysia. Hal tersebut tidak hanya disebabkan oleh wilayah mereka sangat dekat dengan negara Malaysia, namun pada dasarnya masyarakat Dayak Bidayuh yang ada di Desa Hli Buei dan wilayah kecamatan lainnya merupakan satu rumpun dalam sub suku Dayak Bidayuh. Oleh sebab itu secara rutin jika ada kegiatan-kegiatan penting seperti perayaan Gawai, diantara mereka tetap saling mengunjungi.

Kepala Desa Hli Buei, Deki Suprapto menyatakan, bahwa walaupun dibatasi wilayah teritorial kenegaraan, namun persaudaraan diantara Dayak Bidayuh Indonesia dan Dayak Bidayuh Malaysia masih dalam satu garis keturunan leluhur.

"Kami walaupun berbeda negara, namun masih bersaudara. Karena keturunan leluhur kami yang berasal dari Sungkung sudah menyebar kemana-mana. Sebagian besar berada di wilayah Serawak, Malaysia", katanya. 

(Deki Suprapto, Tokoh Masyarakat Desa Hli Buei)

Secara umum pada masa terdahulu, Dayak Bidayuh yang telah menyebar diberbagai penjuru pulau Kalimantan, diakuinya memiliki rumah adat baluk. Namun disebabkan berbagai faktor dan kemajuan teknologi, rumah adat Baluk sudah mulai langka, sehingga perayaan Gawai dilaksanakan secara sederhana. Namun di Sebujit masih dilaksanakan Gawai Nibak’ng, karena memiliki rumah adat dan bedug panjang yang disebut Sibak’ng sebagai ciri khas Gawai Nibak’ng.

"Dinamakan Gawai Nibak'ng karena pada perayaannya dimainkan alat bedug panjang yang dinamakan Sibak'ng. Jika daerah lainnya sudah tidak memiliki rumah adat dan Sibak'ng disebut perayaan Gawai biasa", tambahnya menjelaskan.

(Arena pusat perayaan Gawai Nibak'ng Sebujit)

Dari pelestarian adat istiadat dan memiliki rumah adat yang menjadi salah satu ciri dari Dayak Bidayuh, Desa Hli Buei, Dusun Sebujit, secara periodik melaksanakan perayaan Gawai dengan mengundang Dayak Bidayuh negara Malaysia untuk bersama-sama merayakan Gawai, sebagai tradisi dari leluhur yang tetap terjaga hingga saat ini.

"Kami tidak melihat perbedaan negara, kami hanya ingin melakukan silaturahmi dan menjalin terus kekerabatan kami. O... ini saudara kami dari Serikin, saudara kami dari Gumbang, ini yang menjadi keutamaan bagi kami", ucap Deki menjelaskan satu hari sebelum Gawai dimulai.

(Kepala adat saat mau melaksanakan ritual menyambut Gawai Nibak'ng)

Keesokan harinya, perayaan Gawai tiba, dan ritual dimulai pada pagi hari oleh pengurus adat. Ritual dilaksanakan di rumah adat Baluk, sebagai langkah awal menyambut hari bahagia dan mengucap syukur kepada sang yang maha pencipta.

Ritual ini sengaja dilaksanakan pada pagi hari sebelum tamu-tamu adat dan tamu kehormatan datang memasuki Sebujit. Sehingga serangkaian prosesi adat dilakukan di rumah adat Baluk dengan membunyikan beduk panjang yang disebut Sibak’ng seraya berdoa dan memohon restu dari roh para leluhur, serta memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam Bahasa Bidayuh sebujit disebut Tipa Iyakng.

(Prosesi ritual pagi hari di rumah adat Baluk)

Serangkaian prosesi dilakukan oleh kepala adat, Amin diatas rumah adat Baluk. Ditemani pengurus adat lainnya dan masyarakat Sebujit diucapkan doa berupa mantra-mantra dalam bahasa asli Dayak Bidayuh lengkap dengan peraga-peraga adat yang sudah disediakan sebelumnya.

Prosesi ini memiliki tujuan agar seluruh rangkaian Gawai Nibak’ng yang akan dirayakan dapat terlaksana dengan lancar dan tidak ada kendala. Selain itu para tamu dan masyarakat yang hadir dari berbagai daerah, mendapat keselamatan.

Acara ini juga menjadi salah satu daya tarik para pengunjung, sehingga pada saat prosesi ritual ini dilaksanakan, banyak warga luar Desa Hli Buei menyaksikan secara langsung di rumah adat Baluk.

(Menari dengan tabuhan alat musik Sibak'ng)

Setelah ritual selesai dilaksanakan, ada hal menarik yang cukup jarang ditemui pada perayaan gawai secara umum, yakni acara Nabuei yang berarti tradisi menerima tamu.

Acara nabuei pada perayaan Gawai Nibak’ng ini juga sangat ekstrim. Bagaimana tidak, dengan kehadiran tamu beserta rombongan ditepian desa, dihadang oleh penduduk yang telah mengenakan pakaian serba merah sebagai symbol kaumnya, lengkap dengan senjatanya. Dan selanjutnya diberitahukan kepada pengurus adat yang ada rumah adat Baluk. 

(Tradisi penyambutan tamu undangan rombongan Bupati Bengkayang)

Kemudian dilakukan suatu tradisi oleh pengurus adat kepada warganya sebelum menemui tamu dan rombongan yang datang memasuki kampung. Prosesi diatas rumah baluk menjelang penyambutan tamu yang disebut Nabuei ini juga cukup ekstrim. Dimana para pemuda dan masyarakat yang ada pada rumah adat Baluk ini, diberikan tanda dari darah hewan yang dipotong sebelumnya dari rangkaian ritual.

(Tradisi pemberian tanda sebelum menemui tamu yang datang)

Pemberian tanda ini dilakukan pada semua perangkat adat yang akan menemui dan menyambut tamu tersebut.

(Masyarakat adat turun dari rumah adat Baluk menemui tamu undangan yang datang)

Setelah semua diberikan tanda, maka dari rombongan rumah adat Baluk yang dipimpin oleh kepala adat bergerak menuju tepian kampung untuk menemui tamu dan sekaligus dilaksanakan acara Nabuei.

Setibanya ditempat tamu dihadang, terjadi dialog dan dijelaskan bahwa tamu tersebut merupakan undangan pada perayaan Gawai Nibak'ng,ng. sehingga oleh kapala adat dilakukan prosesi penyambutan dengan membunuh hewan dan melempar telur ayam kepada tamu. 

(Prosesi Nabuei, dipimpin Kepala Adat)

(Tradisi pelemparan telur kepada tamu)

Terlepas dari arti sebenarnya pada jaman dahulu, makna dari pelemparan telur kepada tamu dan telur tersebut pecah, adalah tamu tersebut memiliki kharisma dan niat tulus untuk menghadiri gawai. Namun sebaliknya, jika telur yang dilempar tidak pecah diyakini bahwa saat itu orang yang bersangkutan memiliki kecabangan pikiran dan masih diperbolehkan ikut dalam perayaan Gawai Nibak’ng.

(Masyarakat adat yang menyambut tamu)

Prosesi nabuei selesai, kemudian para tamu diarak menuju rumah adat baluk dengan diiringi tabuhan alat musik khas Dayak Bidayuh. Pemandangan ini jugalah yang membuat nuansa penyambutan Gawai Nibak’ng terasa sangat luar biasa dan sangat meriah.

(Masyarakat adat yang menerima tamu undangan yang datang)

Memasuki kawasan rumah adat Baluk, para tamu dan rombongan juga diharuskan melewati satu wadah berupa gong yang telah diisi air dan benda-benda penawar yang diyakini oleh masyarakatnya dapat menjauhkan hal-hal yang bersifat tidak baik.

(Tamu menari mengelilingi rumah adat Baluk)

Selanjutnya digaungkan musik tradisonal adat Bidayuh, berupa Sibak’ng, gong dan gendang mengiringi para tamu menari mengelilingi rumah adat baluk.

(Tamu beserta seluruh undangan menari diiringi tabuhan alat musik Sibak'ng)

(Bupati Bengkayang Sebastianus Darwis ikut menari mengelilingi rumah adat Baluk)

Pada saat yang berbeda pula, dilakukan penyambutan yang sama pada warga serumpun dari Serawak, Malaysia. Tradisi penyambutan dilaksanakan ditepian kampung lainnya yang menjadi akses masuknya warga Bidayuh dari Serawak.

(Penyambutan tamu adat Dayak Bidayuh Malaysia)

Tamu adat ini kemudian dibawa ke rumah adat baluk dengan berjalan kaki, mengenang tradisi leluhur mereka sebeluh dipisahkan oleh wilayah kenegaraan.

Hal ini membuktikan bahwa, tradisi Gawai Serumpun, tidak memandang asal negara, namun lebig kepada terjaganya hubungan yang harmonis diantara sesame dayak Bidayuh walaupun berbeda negara.

(Menyambut tamu serumpun dari Malaysia)

Berbagai pertunjukan dan ritual yang diadakan, ternyata mampu membawa para hadirin larut dalam kemeriahan Gawai Serumpun ini. Seperti halnya memotong bambu yang menggambarkan keperkasaan kaum laki-laki suku dayak Bidayuh. Walaupun tidak terlepas dari kepercayaan terhadap mantera-mantera yang diucapkan ketua adat, tradisi memotong bambu dengan sekali tebasan adalah bukti logika, kekuatan dari para lelaki lelak dayak Bidayuh ini adalah tisisan leluhur yang dipercayai masih tetap memiliki hubungan kaumnya saat ini.

(Tradisi memotong bambu sekali tebasan parang)

Selain memotong bambu tersebut, digelar pula memanjat bambu terbalik, yang sepintas sama halnya dengan lomba panjat pinang. Namun hal ini sangat ekstrim perbedaaannya, karena untuk mencapai unjung bambu yang telah disediakan berbagai macam hadiah, dipanjat dengan posisi kaki diatas.

Hal yang lebih ekstrim lagi adalah, memanjat bambu dengan posisi terbalik tanpa menanamnya kedalam tanah, tetapi hanya dipegang oleh para pemain dan dikendalikan lewat empat utas tali yang diikat pada ujung bambu. Ini adalah hal yang sangat menakjubkan.

(Nikon’t aol kapasui’e : Memanjat bambu terbalik)

Digelarnyanya perayaan Gawai Serumpun ini merupakan satu upaya yang kuat dari masyarakatnya, untuk meletakkan budaya harus tetap dikedepankan. Dengan hadirnya kaum Dayak Bidayuh dari serawak, Malaysia menandakan bahwa hubungan kedua negara, melalui budaya tidak akan pernah luntur. Sehingga dari wawasan lainnya, budaya serumpun dapat menahan kikisan nasionalisme dari kemajuan teknologi dan perkembangan politik yang dapat membawa dampak buruk terhadap bangsa ini.

Tingginya niat dan upaya dari masyarakat dan pemerintah daerah dalam melestarikan budaya, seperti halnya even gawai Nibak’ng atau disebut nyobeng ini, tidaklah cukup jika tidak ada dukungan dari semua pihak, khususnya pemerintah. Karena kondisi wilayah dengan fasilitas infrastruktur pendukungnya, juga dinilai sangat berpengaruh kepada perkembangan budaya dan tradisi itu sendiri.

Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi-evaluasi dari tahapan-tahapan pelaksanaan Gawai untuk lebih mengembangkannya sebagai asset bangsa Indonesia. Selain itu keterlibatan kaum milenial sebagai generasi penerus diharapkan dapat berkontribusi melalui inisiastif dan kreatifitasnya dalam pelestarian dan pengembangannya.

(Ritual perdamaian bersama Dayak Bidayuh Malaysia)

Gawai Nibak’ng yang kini mampu menyatukan berbagai sub suku dayak di Kalimantan Barat khususnya, tentulah secara praktis membawa nama bangsa Indonesia dari keberagamannya maupun nilai-nilai budaya toleransinya. Untuk itu, sangat penting keterlibatan dari stakeholder yang membidangi, agar dalam mengaktualisasikan tradisi dan budaya ini semakin baik kedepannya.

(Membersihkan Pusaka Leluhur)

Gawai Serumpun Dayak Bidayuh, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang adalah satu budaya leluhur yang mampu bertahan dari akulturasi budaya yang ada di nusantara. Dari perbatasan Indonesia Malaysia, budaya Gawai Nibak’ng yang saat ini popular dengan sebutan Nyobeng akan tetap terlestarikan dengan fungsinya menyatukan antara kaum sebagai perekat bangsa. (admin)

(Pusaka leluhur disimpan kembali pada ruang khusus dalam rumah adat Baluk)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak